Friday 18 January 2013

Makalah Sengketa Antara Papua Barat Dengan Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Konflik politik yang terjadi di Papua Barat yaitu persengketaan tentang kebebasahan wilayah yang terus dipertengtangkan. dipertanyakan, diperbincangkan atau dikaji harus diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum internasional agar diperoleh kebenarannya dan diterima oleh orang Papua Barat dan Indonesia.
Pihak-pihak yang  menjadikan subjek hukum Internasional adalah Negara, Individu, Organisasi Internasional, tahta suci dan Pemberontak dan pihak yang bersengketa. Dalam keadaan tertentu mereka bisa membentuk suatu pemberontakan supaya dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dan mendapat pengakuan sebagai gerakan pembebasan dalam menuntut hak kemerdekaannya.
Serangkaian proses yang tidak dijalankan oleh pihak-pihak internasional sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM Internasional. Proses inilah yang harus digugat kembali. Lembaga-lembaga Internasional seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan Negara-negara angggota PBB dapat meminta advisory opinion atau penjelasan berupa nasihat tentang proses itu dari Mahkamah Internasional.

1.2.      Rumusan Masalah
Adapun  konflik internasional yang terjadi antara bangsa Papua Barat dengan negara kesatuan Republik Indonesia adalah persengketaan suatu keabsahan wilayah yang menjadi  masalah utama bangsa Papua Barat adalah status politik wilayah Papua Barat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang belum final, karena proses memasukan wilayah Papua Barat dalam NKRI itu dilakukan dengan penuh pelanggaran terhadap standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM internasional oleh Amerika Serikat, Belanda, Indonesia dan PBB sendiri demi kepentingan ekonomi politik mereka.

1.3.Tujuan dan Manfaat
A. Tujuan
Adapun Tujuan dari penulisan makalah kewarganegaraan adalah sebagai berikut:
1.      Mahasiswa mampu mengerti dalam konflik internasional yang terjadi antara bangsa Papua Barat dengan negara kesatuan Republik Indonesia.
2.      Mengerti dalam proses yang tidak dijalankan oleh pihak-pihak internasional sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM Internasional.

B. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah kewarganegaraan adalah sebagai berikut:
1.      Dapat mengentahui hukum internasional dalam penyelesaian  persengketaan tentang kebebasahan wilayah yang terus dipertengtangkan.
2.      Dapat mengetahui proses penyelesaian persengketaan yang terjadi antara bangsa Papua Barat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia



BAB II
PEMBAHASAN

Masalah konflik politik tentang status politik wilayah Papua Barat harus diselesaikan di tingkat internasional. Lantas,bagaimana menyelesaiannya? Ada 2 cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan sengketa internasional, yaitu secara damai atau bersahabat dan secara paksa atau kekerasan.

2.1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai
.           Cara penyelesaian secara damai ada dua, yaitu secara politik dan hukum. Secara politik meliputi negosiasi, jasa-jasa baik (good office), mediasi, konsiliasi (conciliation), penyelidikan (inquiry), dan penyelesaian dibawah naungan PBB2. Sedangkan secara hukum dilakukan melalui lembaga peradilan internasional yang telah dibentuk (Mahkama Internasional).

2.2. Penyelesaian Sengketa Secara Paksa
Untuk penyelesaian sengketa secara paksa atau kekerasan, bisa berupa perang atau tindakan bersenjata non perang, retorsi (retortion), tindakan-tindakan pembalasann (repraisal), blockade secara damai (pacific blockade) dan intervensi.
            Setelah perang dunia ke-II PBB menyeruhkan agar segala persoalan harus diselesaikan secara damai. Penyelesaian damai dilakukan melalui badan Arbitrase dan organ PBB yaitu Mahkamah Internasional.

2.3. Arbitrase
Secara Arbitrase berarti penyelesaian sengketa politik melalui pihak ketiga untuk menjadi arbitrator. Hal ini sesuai kesepakatan wilayah yang bertikai Untuk menyelesaian persoalan Papua Barat, pihak Indonesia dan Papua Barat harus sepakat untuk menyerahkan penyelesaian status politik Papua Barat kepada pihak ketiga yang ditentukan bersama.



2.4. Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ).
 Karena ICJ adalah organ PBB, maka dalam penyelesaian kasusnya, harus melalui lembaga-lembaga Internasional PBB seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan organisasi non pemerintahan atau lembaga hukum internasional lainnya yang kapasitasnya diakui oleh PBB.
Sumber hukum internasional adalah sumber-sumber yang digunakan oleh mahkama internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan intern
 Sumber hukum internasional dibedakan menjadi dua: 
1.            Sumber hukum dalam arti Material dalam aliran naturalis berpendapat sumber hukum Internasional didasarkan pada hukum alam yang berasal dari Tuhan, dan aliran positivism berpendapat hukum Internasional berdasarkan pada persetujuan-persetujuan bersama dari Negara-negara ditamba dengan asas pacta sunt servanda; 
2.            Sumber hukum dalam arti Formal adalah sumber hukum dari mana kita mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dipergunakan oleh Mahkama Internasional, didalam pasal 38 Piagam Mahkama Internasional yang menyebutkan sumber-sumber hukum Internasional terjadi dari: Perjanjian Internasional (traktak), Kebiasaan-kebiasaan Internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai hukum, asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, keputusan-kepuptusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai Negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum dan pendapat para ahli hukum yang terkemuka.
Mahkama Internasional atau International Court of Justice (ICJ) adalah badan kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Didirikan pada tahun 1946. Terdiri dari 15 hakim, dua merangkap ketua dan wakil ketua, masa jabatan 9 tahun. Mereka direkrut dari warga Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris dan Perancis. 
Mahkama Internasional berfungsi untuk menyelesaian kasus-kasus internaasional sesuai dengan pertimbanga-pertimbangan hukum Internasional yang menjadi dasar pertimbangannya.
Ada dua fungsi Mahkama dalam menyelesaian suatu kasus, yaitu memutuskan Perkara-perkara pertikaian (contentious case) dan memberikan opini-opini yang bersifat nasehat.
Bila proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tanggal 1 Desember 1961 hingga 1969 itu dianggap sah, maka pertanyaan-pertanyaan yang harus dijelaskan oleh Mahkama Internasional sesuai pokok-pokok yang dibicarakan dalam Sidang Mahkama Internasional dengan menghadirkan Belanda, Amerika Serika dan Indonesia adalah:
1.      Menanyakan Belanda dan PBB apakah Kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 yang dilakukan secara defakto itu sesuai dengan mandat resolusi PBB 1514 dan atau 1541 sehingga Belanda sebagai Negara yang menduduki wilayah Papua Barat itu telah berkewajiban memerdekakan wilayah Papua Barat dan deklarasi kemerdekaan itu juga merupakan hasil kongres Papua Barat yang memilih wakil resmi rakyat Papua Barat, Dewan Nieuw Guinea Raad.
2.      Bila kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 sah sesuai semangat itu, maka invasi militer Indonesia di Papua Barat atas mandat trikora 19 Desember 1961 adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan resolusi-resolusi, prinsip-prinsip hukum dan HAM PBB.
3.      Jika itu sesuai dengan semangat dekolonisasi PBB yang disahkan dalam resolusi Majelis Umum PBB No 1514 dan atau 1541 tahun 1960, maka harus dipertanyakan mengapa PBB mengabaikan resolusi itu lalu secara sepihak PBB melalui UNTEA menyerahkan wilayah administrasi Papua Barat ke tangan Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan semangat memerdekakan wilayah jajahan sesuai mandat dekolonisasi PBB.
4.      Bila proses mengalihkan kekuasaan dari tangan Belanda ke PBB dan selanjutnya ke tangan Indonesia itu sudah sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip HAM dan Hukum PBB, maka mengapa Perjanjanjian New York 15 Agustus 1962 yang membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
5.      Bila keputusan New York Agreement itu disepakati secara sah, maka mengapa pada tahun 1967 Amerika Serikat dan Indonesia menandatangani kontrak karya PT. Freeport Mc Morand yang berada di Timika, Papua Barat sebelum status Papua Barat disahkan melalui referendum (PEPERA) tahun 1969 sesuai kesepakatan New York Agreement.
6.      Bila keputusan New York Agreement itu sah dan di terima oleh semua pihak, termasuk rakyat Papua Barat, mengapa pelaksanaan PEPERA 1969 itu tidak dilakukan sesuai dengan Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement yang mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu. Selain itu, teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia. 

Semua jaringan Papua Merdeka yang ada di setiap Negara harus menggalang (loby) ke parlement dari Negara tersebut untuk tergabung ke IPWP agar membentuk kekuatan bersama mendorong penyelesaian Papua Barat. Kekuatan internasional dapat mendorong Jakarta untuk mengambil kemauan-kemauan politik dalam penyelesaian masalah Papua Barat secara damai. Contoh: Kongresman AS yang terus memaksa kebijakan luar negeri AS melalui draf (bill) oleh DPR AS Urusan wilayah Asia dan Pasifik Eny Faleomavaega dan Donal Pyne untuk membentuk komisi khusus dalam penyelesaian masalah Papua Barat. Inilah tugas-tugas yang harus dicontohi parlement-parlement internasional yang tergabung dalam IPWP agar mendorong negaranya membuat kebijakan-kebijakan luar negeri khususnya terhadap penyelesaian masalah Papua Barat melalui mekanisme internasional. Berikut ini tahapan dan tugas-tugas yang sedang didorong di tingkat Internasional secara umum dalam penyelesaian status politik Papua Barat.















BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Cara penyelesaian sengketa internasional bisa secara damai dan paksa. Setiap sengketa yang ada di dunia internasional seharusnya di selesaikan secara damai.untuk menjaga ketertiban dan keamanan dunia.
 karna dalam proses penyelesaian secara paksa menimbulkan efek negatif terhadap perdamaian dunia.untuk itu baiknya setiap sengketa di selesaikan secara damai, agar tidak adanya keadaan yang tidak di inginkan oleh negara-negara dunia.

3.2. kritik dan saran
1)        Alangkah baiknya apabila terjadi suatu konflik baik itu yang terjadi dalam organisasi nasional , regional , dan internasional diselesaikan dengan cara damai saja baik mediasi , negosiasi , dan konsiliasi .
2)        Penyelesaian suatu konflik haruslah berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku dan tidak boleh dilakukan secara sepihak sehingga mengakibatkan adanya pihak yang dirugikan .
3)        Harus lebih memperhatikan dampak yang terjadi akibat dari adanya konflik dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia .











DAFTAR PUSTAKA

Sumber :

Adolf,Huala.2004.Hukum penyelesaian sengketa Internasional.Jakarta;Sinar Grafika
Starke. J,G.2008.Pengantar Hukum Internasional . Jakarta ;Sinar Grafika.
Subekti , R . 1989. Hukum Acara Perdata . Bandung ; Bina Cipta .




No comments:

Post a Comment