BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Konflik politik yang terjadi di Papua Barat yaitu
persengketaan tentang kebebasahan wilayah yang terus dipertengtangkan.
dipertanyakan, diperbincangkan atau dikaji harus diselesaikan sesuai dengan mekanisme
hukum internasional agar diperoleh kebenarannya dan diterima oleh orang Papua
Barat dan Indonesia.
Pihak-pihak yang menjadikan subjek hukum Internasional adalah
Negara, Individu, Organisasi Internasional, tahta suci dan Pemberontak dan
pihak yang bersengketa. Dalam keadaan tertentu mereka bisa membentuk suatu pemberontakan
supaya dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dan
mendapat pengakuan sebagai gerakan pembebasan dalam menuntut hak kemerdekaannya.
Serangkaian proses yang tidak dijalankan oleh
pihak-pihak internasional sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip hukum
dan HAM Internasional. Proses inilah yang harus digugat kembali.
Lembaga-lembaga Internasional seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan
Negara-negara angggota PBB dapat meminta advisory opinion atau penjelasan
berupa nasihat tentang proses itu dari Mahkamah Internasional.
1.2.
Rumusan Masalah
Adapun konflik internasional yang terjadi antara
bangsa Papua Barat dengan negara kesatuan Republik Indonesia adalah
persengketaan suatu keabsahan wilayah yang menjadi masalah utama bangsa Papua Barat adalah
status politik wilayah Papua Barat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang belum final, karena proses memasukan wilayah Papua Barat dalam NKRI
itu dilakukan dengan penuh pelanggaran terhadap standar-standar, prinsip-prinsip
hukum dan HAM internasional oleh Amerika Serikat, Belanda, Indonesia dan PBB
sendiri demi kepentingan ekonomi politik mereka.
1.3.Tujuan
dan Manfaat
A. Tujuan
Adapun Tujuan dari
penulisan makalah kewarganegaraan adalah sebagai berikut:
1.
Mahasiswa
mampu mengerti dalam konflik internasional
yang terjadi antara bangsa Papua Barat dengan negara kesatuan Republik
Indonesia.
2.
Mengerti dalam proses
yang tidak dijalankan oleh pihak-pihak internasional sesuai dengan
standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM Internasional.
B. Manfaat
Adapun manfaat
dari penulisan makalah kewarganegaraan adalah sebagai berikut:
1.
Dapat
mengentahui hukum internasional dalam penyelesaian persengketaan
tentang kebebasahan wilayah yang terus
dipertengtangkan.
2.
Dapat
mengetahui proses penyelesaian persengketaan yang terjadi antara bangsa Papua
Barat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
Masalah konflik politik tentang status politik wilayah
Papua Barat harus diselesaikan di tingkat internasional. Lantas,bagaimana
menyelesaiannya? Ada 2 cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan sengketa
internasional, yaitu secara damai atau bersahabat dan secara paksa atau
kekerasan.
2.1. Penyelesaian
Sengketa Secara Damai
. Cara penyelesaian secara damai ada
dua, yaitu secara politik dan hukum. Secara politik meliputi negosiasi,
jasa-jasa baik (good office), mediasi, konsiliasi (conciliation), penyelidikan
(inquiry), dan penyelesaian dibawah naungan PBB2. Sedangkan secara hukum
dilakukan melalui lembaga peradilan internasional yang telah dibentuk (Mahkama
Internasional).
2.2. Penyelesaian Sengketa Secara Paksa
Untuk penyelesaian sengketa secara paksa atau
kekerasan, bisa berupa perang atau tindakan bersenjata non perang, retorsi
(retortion), tindakan-tindakan pembalasann (repraisal), blockade secara damai
(pacific blockade) dan intervensi.
Setelah
perang dunia ke-II PBB menyeruhkan agar segala persoalan harus diselesaikan
secara damai. Penyelesaian damai dilakukan melalui badan Arbitrase dan organ
PBB yaitu Mahkamah Internasional.
2.3. Arbitrase
Secara Arbitrase berarti penyelesaian sengketa politik
melalui pihak ketiga untuk menjadi arbitrator. Hal ini sesuai kesepakatan
wilayah yang bertikai Untuk menyelesaian persoalan Papua Barat, pihak Indonesia
dan Papua Barat harus sepakat untuk menyerahkan penyelesaian status politik
Papua Barat kepada pihak ketiga yang ditentukan bersama.
2.4. Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ).
Karena ICJ
adalah organ PBB, maka dalam penyelesaian kasusnya, harus melalui
lembaga-lembaga Internasional PBB seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan
organisasi non pemerintahan atau lembaga hukum internasional lainnya yang
kapasitasnya diakui oleh PBB.
Sumber hukum internasional adalah sumber-sumber yang
digunakan oleh mahkama internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan
intern
Sumber hukum
internasional dibedakan menjadi dua:
1.
Sumber hukum dalam arti
Material dalam aliran naturalis berpendapat sumber hukum Internasional
didasarkan pada hukum alam yang berasal dari Tuhan, dan aliran positivism
berpendapat hukum Internasional berdasarkan pada persetujuan-persetujuan
bersama dari Negara-negara ditamba dengan asas pacta sunt servanda;
2.
Sumber hukum dalam arti
Formal adalah sumber hukum dari mana kita mendapatkan atau menemukan
ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dipergunakan oleh Mahkama
Internasional, didalam pasal 38 Piagam Mahkama Internasional yang menyebutkan
sumber-sumber hukum Internasional terjadi dari: Perjanjian Internasional
(traktak), Kebiasaan-kebiasaan Internasional yang terbukti dalam praktek umum
dan diterima sebagai hukum, asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab, keputusan-kepuptusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum
internasional dari berbagai Negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum
dan pendapat para ahli hukum yang terkemuka.
Mahkama Internasional atau International Court of
Justice (ICJ) adalah badan kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag,
Belanda. Didirikan pada tahun 1946. Terdiri dari 15 hakim, dua merangkap ketua
dan wakil ketua, masa jabatan 9 tahun. Mereka direkrut dari warga Negara
anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris
dan Perancis.
Mahkama Internasional berfungsi untuk menyelesaian
kasus-kasus internaasional sesuai dengan pertimbanga-pertimbangan hukum
Internasional yang menjadi dasar pertimbangannya.
Ada dua fungsi Mahkama dalam menyelesaian suatu kasus,
yaitu memutuskan Perkara-perkara pertikaian (contentious case) dan memberikan
opini-opini yang bersifat nasehat.
Bila proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak
tanggal 1 Desember 1961 hingga 1969 itu dianggap sah, maka
pertanyaan-pertanyaan yang harus dijelaskan oleh Mahkama Internasional sesuai
pokok-pokok yang dibicarakan dalam Sidang Mahkama Internasional dengan
menghadirkan Belanda, Amerika Serika dan Indonesia adalah:
1.
Menanyakan Belanda dan
PBB apakah Kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 yang dilakukan secara
defakto itu sesuai dengan mandat resolusi PBB 1514 dan atau 1541 sehingga
Belanda sebagai Negara yang menduduki wilayah Papua Barat itu telah
berkewajiban memerdekakan wilayah Papua Barat dan deklarasi kemerdekaan itu
juga merupakan hasil kongres Papua Barat yang memilih wakil resmi rakyat Papua
Barat, Dewan Nieuw Guinea Raad.
2.
Bila kemerdekaan Papua
Barat 1 Desember 1961 sah sesuai semangat itu, maka invasi militer Indonesia di
Papua Barat atas mandat trikora 19 Desember 1961 adalah suatu tindakan yang
bertentangan dengan resolusi-resolusi, prinsip-prinsip hukum dan HAM PBB.
3.
Jika itu sesuai dengan
semangat dekolonisasi PBB yang disahkan dalam resolusi Majelis Umum PBB No 1514
dan atau 1541 tahun 1960, maka harus dipertanyakan mengapa PBB mengabaikan
resolusi itu lalu secara sepihak PBB melalui UNTEA menyerahkan wilayah
administrasi Papua Barat ke tangan Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 sebagai
suatu tindakan yang bertentangan dengan semangat memerdekakan wilayah jajahan
sesuai mandat dekolonisasi PBB.
4.
Bila proses mengalihkan
kekuasaan dari tangan Belanda ke PBB dan selanjutnya ke tangan Indonesia itu
sudah sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip HAM dan Hukum PBB, maka
mengapa Perjanjanjian New York 15 Agustus 1962 yang membicarakan status tanah
dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan
wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
5.
Bila keputusan New York
Agreement itu disepakati secara sah, maka mengapa pada tahun 1967 Amerika
Serikat dan Indonesia menandatangani kontrak karya PT. Freeport Mc Morand yang
berada di Timika, Papua Barat sebelum status Papua Barat disahkan melalui
referendum (PEPERA) tahun 1969 sesuai kesepakatan New York Agreement.
6.
Bila keputusan New York
Agreement itu sah dan di terima oleh semua pihak, termasuk rakyat Papua Barat,
mengapa pelaksanaan PEPERA 1969 itu tidak dilakukan sesuai dengan Pasal XVIII
ayat (d) New York Agreement yang mengatur bahwa “The eligibility of all adults,
male and female, not foreign nationals to participate in the act of self
determination to be carried out in accordance whit international practice…”.
Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang
dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat
penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan
Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu
musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan
perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175
orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh
pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar
negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan
untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu. Selain itu, teror, intimidasi
dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk
memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia.
Semua jaringan Papua Merdeka yang ada di setiap Negara
harus menggalang (loby) ke parlement dari Negara tersebut untuk tergabung ke
IPWP agar membentuk kekuatan bersama mendorong penyelesaian Papua Barat.
Kekuatan internasional dapat mendorong Jakarta untuk mengambil kemauan-kemauan
politik dalam penyelesaian masalah Papua Barat secara damai. Contoh: Kongresman
AS yang terus memaksa kebijakan luar negeri AS melalui draf (bill) oleh DPR AS
Urusan wilayah Asia dan Pasifik Eny Faleomavaega dan Donal Pyne untuk membentuk
komisi khusus dalam penyelesaian masalah Papua Barat. Inilah tugas-tugas yang
harus dicontohi parlement-parlement internasional yang tergabung dalam IPWP
agar mendorong negaranya membuat kebijakan-kebijakan luar negeri khususnya
terhadap penyelesaian masalah Papua Barat melalui mekanisme internasional.
Berikut ini tahapan dan tugas-tugas yang sedang didorong di tingkat
Internasional secara umum dalam penyelesaian status politik Papua Barat.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Cara penyelesaian sengketa internasional bisa secara damai dan paksa. Setiap sengketa yang ada di dunia
internasional seharusnya di selesaikan secara damai.untuk menjaga ketertiban
dan keamanan dunia.
karna dalam proses penyelesaian
secara paksa menimbulkan efek negatif terhadap perdamaian dunia.untuk itu
baiknya setiap sengketa di selesaikan secara damai, agar tidak adanya keadaan yang tidak di
inginkan oleh negara-negara dunia.
3.2. kritik dan saran
1)
Alangkah baiknya apabila terjadi suatu
konflik baik itu yang terjadi dalam organisasi nasional , regional , dan
internasional diselesaikan dengan cara damai saja baik mediasi , negosiasi ,
dan konsiliasi .
2)
Penyelesaian suatu konflik haruslah
berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku dan tidak boleh dilakukan secara
sepihak sehingga mengakibatkan adanya pihak yang dirugikan .
3)
Harus lebih memperhatikan dampak yang
terjadi akibat dari adanya konflik dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia
.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber :
Adolf,Huala.2004.Hukum
penyelesaian sengketa Internasional.Jakarta;Sinar Grafika
Starke. J,G.2008.Pengantar Hukum Internasional . Jakarta ;Sinar Grafika.
Subekti , R . 1989. Hukum Acara Perdata . Bandung ; Bina Cipta .
No comments:
Post a Comment