BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ethanol merupakan senyawa Hidrokarbon dengan gugus Hydroxyl (-OH) dengan 2
atom karbon (C) dengan rumus kimia C2H5OH. Secara umum Ethanol lebih dikenal
sebagai Etil Alkohol berupa bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman
yang mengandung karbohidrat (pati) seperti ubi kayu,ubi
jalar,jagung,sorgum,beras,ganyong dan sagu yang kemudian dipopulerkan dengan
nama Bioethanol. Bahan baku lain-nya adalah tanaman atau buah anaktptph-agriculture.blogspot.com yang mengandung
gula seperti tebu,nira,buah mangga,nenas,pepaya,anggur,lengkeng,dll.
Bahan
berserat (selulosa) seperti sampah organik dan jerami padi pun saat ini telah
menjadi salah satu alternatif penghasil ethanol.
Bahan baku tersebut merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam rakyat
hampir di seluruh wilayah Indonesia,sehingga jenis tanaman tersebut merupakan
tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku
pembuatan bioethanol. Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu
merupakan tanaman yang setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi
bioethanol. Selain itu pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku
proses produksi bioethanol juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi.
Pertimbangan ke-ekonomian pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi
harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga meliputi biaya
pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya bahan baku
untuk memproduksi setiap liter ethanol.
Ethanol merupakan senyawa Hidrokarbon
dengan gugus Hydroxyl (-OH) dengan 2 atom karbon (C) dengan rumus kimia C2H5OH.
Secara umum Ethanol lebih dikenal sebagai Etil Alkohol berupa bahan kimia yang
diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung karbohidrat (pati) seperti
ubi kayu,ubi jalar,jagung,sorgum,beras,ganyong dan sagu yang kemudian
dipopulerkan dengan nama Bioethanol.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Singkong karet (manihot glaziovii) merupaktan umbi
yang tdak termasuk bahan makanan karena mengandung unsur kimia asam sianida
(HCN) yang bersifat racun. Kandungan karbohidrat dalam ubi mancapai 98,5%
sehingga umbi ini layak dikonversi menjadi bioetanol. Bioetanol merupakan
produk dari hidrolisis pati manjadi glukosa secara enzimatis yang dilanjutkan
fermentasi glukosa menggunakan ragi saccharomyces
sereviceae secara an-aerob menjadi bioetanol.
Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi yang tidak dapat diperbaharui atau non renewable. Keberadaannya hingga saat ini menempati urutan pertama sebagai sumber energi. Salah satu turunan minyak bumi yang banyak digunakan
industri kecil dan rumah tangga
adalah minyak tanah. Upaya pemerintah mengalihkan penggunaan minyak
tanah ke bahan
bakar lain perlu didukung.
Saat ini pengalihan
penggunaan minyak tanah ke bahan
bakar gas banyak menemui kendala antara
lain banyaknya kasus kebakaran yang
disebabkan oleh bahan bakar gas, karena sifat gas yang
selalu memenuhi ruangan sehingga apabila terjadi
percikan api dalam kompor akan memicu kebakaran di sekitarnya. Oleh karena itu pengalihan atau konversi minyak tanah tidak harus
ke bahan bakar gas tetapi juga dapat
ke bioetanol yang bersifat lebih ramah lingkungan dan tidak membahayakan lingkungan.
Bioetanol mempunyai kelebihan selain ramah lingkungan, penggunaannya sebagai bahan bakar kompor
terbukti lebih hemat dan efisien proses pembakarannya.
Selain itu, pembuatannya
bisa dilakukan di rumah
dengan mudah dan lebih ekonomis
dibandingkan menggunakan minyak tanah. Bioetanol merupakan cairan hasil proses
fermentasi gula dari sumber karbohidrat (pati) menggunakan bantua mikroorganisme. Produksi bioetanol dari tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan
melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa). Pada hidrolisis enzimatis dikenal ada dua metode yaitu SHF dan SSF. Metode SSF menjadi sangat
penting untuk dikembangkan karena
dapat mempersingkat proses
pembuatan bioetanol(Marques,2007).
Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah memanfaatkan pati yang terkandung dalam singkong
karet (Manihot glaziovii).
Singkong karet merupakan salah satu
jenis singkong pohon yang mengandung
senyawa beracun, yaitu asam sianida (HCN),
sehingga tidak diperjualbelikan dan kurang dimanfaatkan oleh masyarakat.
Tanaman singkong karet ini dapat menghasilkan ubi dengan berat hampir empat kali lipat
dibandingkan singkong biasa sehingga apabila dijadikan bahan baku
pembuatan bioetanol sangat layak dari segi ketersediaannya, artinya untuk ketersediaan sebagai bahan baku baku cukup aman. Kandungan pati dalam umbi
dapat dikonversi menjadi bioetanol.
Tabel 1. Kandungan pati singkong karet.
No.
|
Analisa
|
Kadar 100% BK
|
1.
|
Kadar Abu
|
0,4734
|
2.
|
Kadar Lemak Kasar
|
0,5842
|
3.
|
Kadar Serat Kasar
|
0,0067
|
4.
|
Kadar Protein Kasar
|
0,4750
|
5.
|
Kadar Karbohidrat
|
98,4674
|
Sumber: Laboratorium Ilmu Makanan Ternak FP Undip
Bioetanol yang dihasilakan dalam penelitian ini diuji cobakan pada kompor bioetanol. Uji yang
dilakukan meliputi uji nyala secara fisis. nyala api yang
lebih biru menandakan bioetanol yang digunakan
mempunyai kadar yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mempelajari data pengaruh volume enzim pada proses likuifaksi dan sakarifikasi terhadap kadar glukosa yang diperoleh
(2) Mencari
waktu optimum pada proses SSF untuk pembuatan bioetanol kadar minimal 80% yang
memenuhi spesifikasi sebagai bahan bakar kompor rumah tangga dan (3) Mempelajari data pengaruh massa ragi pada proses fermentasi terhadap kadar bioetanol minimal
80% yang memenuhi spesifikasi sebagai bahan bakar kompor rumah tangga.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Bahan dan Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah SSF (Simultaneous Saccarification Fermentation) yaitu proses hidrolisis dan fermentasi dilakukan secara serentak. Dengan variabel bebas volume enzim 1,3, dan 5 ml; massa ragi 5,10, dan15 gram; waktu proses SSF 144, 168, dan 192 jam. Dan variabel terikat volume air 4L; massa pati 800 gr.
Pada proses likuifaksi, suhu operasi 95°C dan pH 5. Pada proses sakarifikasi, suhu operasi 30°C dan pH 4.
·
Respon Pengamatan
Respon yang diamati adalah kadar glukosa selama proses hidrolisis dan kadar bioetanol setelah mengalami
proses SSF dan proses distilasi.
·
Bahan dan Alat yang Digunakan
Pada penelitian, bahan yang digunakan adalah pati singkong karet yang berasal dari
Desa Tanjungsari, Kabupaten Boyolali; aquadest didapat dari Laboratorium
Proses Teknik Kimia; α-amylse dan Glukoamylase
berasal dari Denmark, pembelian melalui online dengan alamat Cibubur, Jakarta Timur 13770, Jakarta, Indonesia; Saccaromyces cereviae diperoleh dari Toko Bahan
Kimia Serbasari Semarang; NPK dan urea; HCl 0,1N , NaOH 0,1 N,
Indikator MB, Fehling A, Fehling B, glukosa standard diperoleh dari Laboratorium Dasar Teknik Kimia.
Gambar 2. Rangkaian alat utama pemurnian Bioetanol
untuk bahanbakar kompor rumah tangga
3.2 Prosedur Percobaan
Persiapan bahan baku meliputi langkah- angkah sebagai berikut singkong karet dikupas dan dicuci dengan air agar bersih dari kotoran. Singkong karet kemudian dipotong lalu diparut. Parutan singkong ditambahkan air sehingga menjadi bubur singkong karet. Bubur singkong karet diperas kemudian diendapkan dan akan didapatkan pati basah. Selanjutnya pati basah dikeringkan dengan cara dijemur dan dioven pada suhu 70 oC Selama 2 jam. Singkong karet dibuat kering bertujuan agar lebih awet dan menghilangkan kandungan airnya sehingga diperoleh pati singkong yang kering dan dapat disimpan dalam waktu lama sebagai cadangan bahan baku. Pati singkong karet yang telah kering diayak sehingga diperoleh pati dengan ukuran partikel yang lebih homogen. Selanjutnya proses hidrolisis meliputi gelatinasi: pati singkong karet sebanyak 800 gr dicampur dengan 4 L aquadest. Kemudian dimasak dengan suhu 95oC selama 40 menit sambil diaduk agar bagian bawah bejana tidak lengket. Larutan pati yang sebelumnya encer, setelah dilakukan pemasakan akan berubah wujudnya menjadi seperti bubur kental.Proses hidrolisis yang kedua adalah likuifaksi: bubur pati singkong karet tersebut ditambahkan enzim α-amylse sesuai variabel. Atur pH 5 dengan menggunakan HCl 0,1 N. Suhu yangdigunakan adalah 90 C. Waktu likuifaksi yang ditetapkan adalah selama 2 jam. Setelah proses likuifaksi selesai, lakukan analisa glukosa.
Proses hidrolisis yang terakhir adalah sakarifikasi: penambahan enzim Glukoamylase
sesuai variabel. Atur pH 4. Proses ini berlangsung dalam waktu 2 jam dan suhu 60oC. Proses fermentasi dengan Metode SSF: larutan substrat ditambahkan
Saccaromyces
cereviae sesuai variabel. Tambahkan juga 2 gr nutrien (NPK) dan urea sebanyak 4 gr, atur pH. Proses fermentasi berlangsung sesuai variabel yang ditentukan dan suhu fermentasi adalah 30 C. Pada proses ini berlangsung dalam keadaan tertutup. Kemudian kadar etanol dianalisis dengan alkoholmeter.
3.3 Hasil dan Pembahasan
· Pengaruh volume enzim terhadap kadar glukosa
Proses hidrolisis pati merupakan proses pengubahan molekul pati menjadi glukosa yang dilakukan dengan bantuan enzim α- mylse dan enzim glukoamilase. Pada penelitian ini pati yang digunakan sebanyak 800 gr dan volume enzim divariasi 1,3, dan 5 mL. Berdasarkan Gambar 3 menunjukkan kadar glukosa naik seiring naiknya konsentrasi enzim yang digunakan pada saat hidrolisis. Hal ini disebabkan enzim α-amylse dapat menghidrolisis ikatan α-1,4-glukosida dan α-1,6-glukosida menghasilkan glukosa. Sehingga kadar glukosa yang dihasilkan menjadi semakin besar.
Gambar 3. Pengaruh Penambahan Volume
Enzim Terhadap Kadar Glukosa
Gambar 3. menunjukkan bahwa dengan volume enzim 1, 3 dan 5 mL, dihasilkan glukosa dengan kadar masing – masing 7,6%, 18% dan 26,67%. Higgins (1984) menyatakan bahwa kadar glukosa yang baik untuk proses fermentasi adalah 16 – 25%, yang akan menghasilkan crude etanol sebesar 6 – 12%. Konsentrasi glukosa di atas 25% akan memperlambat fermentasi. Pada kadar glukosa 26,67% akan menyebabkan terhambatnya perkembangan Saccharomyces cereviceae pada proses fermentasi.(Erasmus, 2003). Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa volume enzim 3 mL menghasilkan kadar glukosa terbaik untuk fermentasi.
· Pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar etanol
Tabel 2. Pengaruh Waktu Fermentasi terhadap Etanol yang Dihasilkan
Waktu
fermentasi
(jam)
|
Kadar crude
etanol (%)
|
Distilasi I
|
Distilasi II
|
||
%Etanol
|
Volume (mL)
|
%Etanol
|
Volume (mL)
|
||
144
|
5
|
30
|
1760
|
93
|
390
|
168
|
6
|
35
|
1545
|
94
|
420
|
192
|
3
|
15
|
726
|
91
|
210
|
Waktu fermentasi selama 144, 168, dan 192 jam berpengaruh secara signifikan terhadap kadar bioetanol yang
diperoleh. Pada waktu fermentasi 168 jam, dihasilkan etanol dengan kadar paling tinggi yaitu 6%. Hal ini
Disebabkan pada waktu fermentasi 168 jam, Saccharomyces cerevisiae memiliki aktivitas paling besar atau berada pada fase eksponensial. Fase eksponensial merupakan fase untuk pembentukan produk
etanol yang
terbesar. Sedangkan waktu fermentasi 192 jam, kadar etanol yang dihasilkan mengalami penurunan karena Saccharomyces cerevisiae memasuki death phase sehingga jumlah mikroba yang tumbuh semakin melambat dan tidak ada penambahan jumlah mikroba yang mengubah substrat menjadi
etanol sehingga etanol yang
terbentuk cenderung turun.
Gambar 4 Pengaruh Waktu Fermentasi terhadap Yield
Gambar 4.menunjukkan semakin lama waktu fermentasi maka etanol yang dihasilkan juga semakin banyak.
Proses fermentasi dilakukan pada kondisi anaerob. Dari hasil percobaan, waktu fermentasi selama 192 jam
mengalami penurunan yield. Hal ini disebabkan kondisi pada saat proses fermentasi dimungkinkan tidak sempurna karena adanya
sedikit oksigen dalam tangki fermentasi menyebabkan tumbuhnya Acetobacter aceti yang dapat mengkonversi alkohol menjadi asam asetat yang ditandai dengan bau asam pada sampel sehingga terjadi penurunan yield. Reaksi
oksidasi etanol menjadi asam asetat :
C2H5OH + O2 CH3COOH + H2O
Acetobacter aceti
·
Pengaruh massa ragi terhadap kadar etanol
Pada variabel volume enzim dan waktu fermentasi didapatkan hasil optimum untuk volume enzim sebanyak 3 mL dan waktu fermentasi selama 168 jam, oleh karena itu pada variabel pengaruh massa ragi digunakan volume enzim untuk hidrolisis sebanyak 3 mL dan waktu fermentasi selama 168 jam. Hasil percobaan tentang pengaruh
massa ragi terhadap kadar etanol dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Massa Ragi terhadap Etanol yang Dihasilkan
Massa ragi
(gr)
|
Kadar crude
etanol (%)
|
Distilasi I
|
Distilasi II
|
||
%Etanol
|
Volume (mL)
|
%Etanol
|
Volume (mL)
|
||
5
|
1
|
20
|
1170
|
88
|
192
|
10
|
4
|
30
|
1140
|
92
|
335
|
15
|
6
|
35
|
1545
|
94
|
420
|
Pada proses fermentasi, massa ragi berpengaruh pada kadar etanol yang dihasilkan. Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin besar massa ragi yang ditambahkan maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan. Hal ini Disebabkan semakin banyak ragi yang ditambahkan maka mikroorganisme yang mengurai glukosa menjadi etanolpun semakin banyak sehingga etanol yang dihasilkan kadarnya semakin besar.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Volume enzim merupakan variabel yang berpengaruh dalam peningkatan kadar glukosa. Volume enzim terbaik sebanyak 3 mL mampu menghidrolisis larutan 800 gr pati dalam 4 L yang menghasilkan kadar
glukosa 18%. Waktu fermentasi berpengaruh terhadap kadar bioetanol yang diperoleh. Dari tiga variabel waktu fermentasi, waktu fermentasi 168 jam menghasilkan kadar bioetanol tertinggi, yaitu 94%. Massa ragi berpengaruh terhadap kadar etanol yang diperoleh. Semakin besar massa ragi maka semakin besar kadar etanol yang dihasilkan. Massa ragi 15 gr menghasilkan kadar bioetanol tertinggi, yaitu 94%. Bioetanol yang dihasilkan Dengan kadar 94% layak digunakan sebagai bahan bakar kompor rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 2, No. 2, Tahun 2013, Halaman 240-245
Hapsari,
Mira Amelia Dkk. Pembuatan bioetanol dari singkong karet (manihot glaziovii) untuk bahan bakar kompor rumah tangga Sebagai upaya mempercepat konversi minyak tanah
Ke bahan bakar nabati.semarang; universitas di ponegoro. 2012 (online di http;//
ejojurnal-s1.undip.ac.id/index,php/jyki)
di unduh pada tanggal 18 oktober 2013 pukul 09.45 Wib
No comments:
Post a Comment